Pengertian Hotel Menurut Sulastiyono: Refleksi Kritis atas Fungsi, Makna, dan Realita Industri Perhotelan

Pengertian Hotel – Ketika kita mendengar kata “hotel”, pikiran kita sering langsung tertuju pada bangunan mewah, ranjang empuk, layanan 24 jam, dan aroma kopi pagi yang disajikan dengan senyum ramah.

Tapi benarkah hotel hanya soal tempat tidur dan sarapan? Dalam literatur pariwisata, salah satu tokoh akademik yang cukup sering dikutip dalam mengurai makna hotel secara lebih mendalam adalah Sulastiyono.

Melalui pemikirannya, kita diajak untuk memahami hotel bukan hanya sebagai bangunan fisik, tetapi sebagai sistem yang kompleks dengan peran sosial-ekonomi yang sangat strategis.

Pengertian Hotel Menurut Sulastiyono

Dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar Manajemen Perhotelan”, Sulastiyono menjelaskan bahwa hotel adalah:

“Suatu jenis akomodasi yang menggunakan sebagian atau seluruh bangunannya untuk menyediakan jasa penginapan, makan dan minum serta jasa penunjang lainnya, yang dikelola secara komersial dan terbuka untuk umum.”

Definisi ini tampak sederhana, tetapi jika kita cermati, mengandung empat komponen penting:

  1. Akomodasi: Hotel menyediakan tempat tinggal sementara bagi tamu.
  2. Jasa pendukung (F&B dan lainnya): Hotel bukan hanya tempat tidur, tapi juga tempat makan, berkegiatan, dan bahkan bekerja.
  3. Dikelola secara komersial: Hotel adalah entitas bisnis yang berorientasi pada keuntungan.
  4. Terbuka untuk umum: Siapa pun bisa mengakses layanan hotel, tidak bersifat eksklusif atau privat.

Lebih dari Sekadar Definisi: Menggali Esensi Hotel

Definisi Sulastiyono bisa kita anggap sebagai fondasi akademik. Tapi mari kita refleksikan: apakah dalam praktiknya, hotel-hotel yang ada saat ini masih merepresentasikan nilai-nilai tersebut?

Hotel sebagai Lembaga Sosial-Ekonomi

Hotel bukan hanya entitas bisnis yang menjual kamar. Ia adalah lembaga sosial. Mengapa? Karena hotel menyerap tenaga kerja, menciptakan relasi antarbudaya (antara tamu dan staf, antara wisatawan dan warga lokal), serta memengaruhi struktur ekonomi lokal.

Sulastiyono secara implisit menyadari bahwa komersialisasi hotel tak bisa dilepaskan dari fungsi sosialnya. Dalam praktik perhotelan modern, kita melihat hotel sebagai agen perubahan ekonomi: menyediakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan UMKM lokal, dan menjadi pendorong sektor pariwisata secara luas.

Namun, di sisi lain, hotel juga bisa menjadi entitas yang eksklusif dan eksploitatif—mengambil keuntungan dari komunitas sekitar tanpa memberikan timbal balik yang sepadan. Banyak hotel berdiri megah, tetapi ironi sosialnya nyata: pekerja dibayar di bawah standar, budaya lokal terkikis demi selera global, dan akses warga terhadap wilayah pesisir atau pegunungan tertutup oleh “privatisasi pariwisata”.

Inilah tantangan etis yang sering luput dari pembahasan industri perhotelan. Dan di sinilah pentingnya pembacaan kritis terhadap definisi Sulastiyono.

Perspektif Kritis terhadap Praktik Hotel Modern

Dalam dunia pendidikan kepariwisataan, definisi seperti yang diberikan Sulastiyono seringkali dijadikan acuan utama. Namun, ada beberapa pertanyaan kritis yang layak diajukan:

1. Apakah hotel hari ini masih “terbuka untuk umum”?

Secara legal, ya. Tapi secara fungsional, banyak hotel menerapkan harga, protokol, atau batasan yang membuatnya tidak inklusif. Sebagian masyarakat merasa “bukan tempat gue”, bukan karena tak tahu cara memesan kamar, tapi karena budaya hotel yang semakin elitis dan tersegmen berdasarkan kelas sosial.

LihatJuga:  Pengertian Hotel Menurut Hermawan: Antara Teori, Realita, dan Tantangan Industri Perhotelan Masa Kini

Dalam konteks ini, kita perlu mempertanyakan kembali apa arti “terbuka untuk umum” yang disebut Sulastiyono. Apakah itu sekadar akses fisik? Atau juga akses psikologis dan kultural?

2. Komersialisasi: Solusi atau Masalah?

Sulastiyono menekankan bahwa hotel adalah entitas komersial. Tidak salah. Namun dalam praktiknya, orientasi profit sering kali menyingkirkan aspek keberlanjutan. Hotel-hotel besar menimbulkan dampak lingkungan yang tidak kecil—dari konsumsi energi, pengelolaan sampah, hingga degradasi alam di kawasan wisata.

Bahkan, dalam beberapa kasus, keberadaan hotel malah memperparah ketimpangan sosial di destinasi wisata. Penduduk lokal hanya menjadi “penonton” atau pekerja rendahan, sementara investor dari luar meraup keuntungan besar. Ini jelas kontras dengan visi keberlanjutan pariwisata.

3. Peran Budaya dalam Konsep Hotel

Definisi Sulastiyono memang bersifat teknis dan administratif, tapi perlu juga dikritisi bahwa dalam praktiknya, budaya lokal sering hanya dijadikan dekorasi belaka. Banyak hotel mengusung konsep “etnik” atau “kearifan lokal”, namun hanya sebatas tampilan visual—tanpa benar-benar menghargai atau melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan maupun pengelolaan.

Dengan kata lain, kita perlu menambah dimensi budaya dan partisipatif dalam pengertian hotel agar tidak jatuh pada komersialisasi yang kosong makna.

Hotel dan Transformasi Digital: Dimensi Baru dalam Industri

Dalam konteks abad ke-21, hotel juga mengalami transformasi besar akibat digitalisasi. Definisi Sulastiyono yang ditulis dalam era pra-platform digital kini harus diinterpretasikan ulang.

Saat ini, banyak bentuk akomodasi baru seperti Airbnb, guest house, dan co-living space yang menawarkan layanan mirip hotel, bahkan lebih fleksibel. Di sinilah muncul pertanyaan reflektif:

  • Apakah semua akomodasi berbasis platform digital bisa disebut “hotel” menurut Sulastiyono?
  • Apakah konsep “komersial dan terbuka untuk umum” masih relevan dalam ekosistem sharing economy?

Definisi klasik, seperti milik Sulastiyono, tetap penting sebagai pijakan. Namun, kita juga perlu adaptasi dalam menyikapi dinamika baru. Bahkan, mungkin perlu redefinisi: hotel bukan hanya entitas fisik, tapi juga sistem layanan akomodasi yang mengutamakan kenyamanan, profesionalisme, dan keterbukaan baik secara langsung maupun digital.

Peran Akademisi dan Pendidikan Perhotelan

Satu hal yang tidak bisa diabaikan dari definisi Sulastiyono adalah fungsinya dalam pendidikan perhotelan. Sebagai pengajar dan penulis buku referensi, Sulastiyono berperan penting dalam membentuk persepsi generasi muda tentang dunia perhotelan.

Namun, di sinilah tantangannya: apakah pendidikan perhotelan saat ini hanya mencetak pekerja yang taat sistem, atau juga pemikir kritis yang mampu mengubah sistem? Apakah mahasiswa hanya belajar SOP layanan kamar, atau juga belajar etika lingkungan, hak pekerja, dan pengembangan komunitas?

Pengertian hotel seharusnya tidak hanya diajarkan sebagai definisi hafalan, tetapi sebagai cermin untuk merefleksikan fungsi sosial-historis hotel dalam masyarakat kita.

Relevansi Definisi Sulastiyono di Masa Depan

Meskipun ditulis dalam konteks yang berbeda secara waktu dan teknologi, pengertian hotel menurut Sulastiyono tetap relevan. Ia menjadi fondasi bagi analisis yang lebih kompleks. Namun, dalam praktiknya, kita perlu memperkaya definisi tersebut dengan perspektif interdisipliner—dari sosiologi, lingkungan, ekonomi digital, hingga filsafat pelayanan.

Beberapa pengayaan yang bisa dipertimbangkan:

  • Aspek keberlanjutan: Hotel bukan hanya soal jasa, tapi juga dampak ekologis dan sosial.
  • Keadilan sosial: Bagaimana hotel menjamin kesejahteraan pekerja dan partisipasi warga lokal.
  • Transformasi digital: Bagaimana konsep hotel beradaptasi di era platform dan AI.
  • Dimensi budaya: Hotel sebagai wadah pelestarian, bukan perampasan identitas budaya.

Penutup: Mari Kritis, Tapi Tetap Konstruktif

Pengertian hotel menurut Sulastiyono menjadi pintu masuk yang sangat berguna untuk memahami fondasi industri perhotelan. Tapi seperti ilmu-ilmu sosial lainnya, kita tidak boleh berhenti pada definisi. Kita perlu mengkritisinya, merefleksikannya, dan yang terpenting mengembangkannya sesuai konteks zaman.

LihatJuga:  Pengertian Hotel Menurut Hermawan: Antara Teori, Realita, dan Tantangan Industri Perhotelan Masa Kini

Hotel seharusnya bukan hanya tempat bermalam, tetapi juga simbol pertemuan manusia, ekonomi yang adil, dan keberlanjutan lingkungan. Jika tidak, hotel hanya akan menjadi menara gading: indah dari luar, tapi jauh dari realitas dan nilai-nilai yang seharusnya ia junjung.

Sebagai akademisi, praktisi, atau bahkan wisatawan, kita punya peran dalam mendefinisikan ulang makna hotel. Dan seperti yang dikatakan Sulastiyono melalui definisinya bahwa hotel adalah jasa terbuka untuk umum maka mari kita pastikan bahwa keterbukaan itu sungguh-sungguh nyata, bukan sekadar formalitas.

Bagikan:

Ayah Nisa adalah Alumni Pondok Pesantren yang pernah kuliah di UIN Fas Bengkulu. Salah satu Blogger Bengkulu yang mencoba mengenal lebih jauh tentang dunia pariwisata dan perhotelan. Saat ini aktif sebagai admin dan penulis hotelpopuler.com

⟷⟷⟷⟷⟷⟷

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses